yang telah hilang
Sore itu hujan mulai menjatuhkan airnya
pada permukaan, dengan riang ia menciptakan alunan nada gemericik air yang
sendu, dan melewati pantulan – pantulan bebatuan. Lalu ia menyusuri kelokan –
kelokan menuju muara tuk berlabuh, dan mendayu – dayu bersama angin seakan ia
melambaikan sapaan rindu padaku. Rindu yang mulai datang seiring hujan,
mengingatkan pada kenangan saat kau membawa payung tuk meneduhkan perjalananku
melewati trotoar yang telah usang. Menatap mataku seraya tersenyum dan berbisik
“kau akan baik – baik saja”.
Ku percayakan padamu. Ku yakinkan diriku
tuk melangkah menuju pada masa depan. Jari – jemari lentikku pun siap menari –
nari bersama gugurnya dedaunan dan mekarnya bunga – bunga, asalkan ku melangkah
hanya bersamamu. Ketika terhuyung ombak, kau akan memegang tanganku dengan
erat. Ketika berbalur harum, maka kau akan mendampingiku bertahan tuk harum itu
tak meninggalkan sisiku.
Kau ingin aku memahami bahwa kau tak
lagi hanya berbisik, melainkan kau mulai berani tuk berteriak. Meneriakkan namaku,
agar seluruh dunia tahu bahwa kau ingin menjadi “teman hidupku”.
Namun kenangan hanyalah masa lalu yang
selalu teringat. Ketika rintikan hujan mulai perlahan berhenti, diriku pun
mulai tersadar telah melewati angan – angan lalu yang masih bersedia mengiringi
perjalanan hidupku. Payung yang dulu meneduhkanku, kini tinggal imajinasi milik
diriku sendiri. Hingga hujan mulai berhasil menembus kehangatan rinduku,
berganti dengan dinginnya rindu yang tak akan menghangat kembali olehmu.
Ku ingin menyapamu, menanyakan tanya
sederhana yang selalu terngiang di setiap hariku, sampai menjadi bunga tidurku.
Namun, apalah dayaku yang hingga sekarang tak menemukan jejakmu lagi di trotoar
usang tempat kita bertemu terakhir kalinyaa. Ku hanya menemukan debu yang mulai
menebal menggambarkan mozaik sibuknya kehidupan. “Apa kabar dirimu?, dimana kau
berada sekarang?”. Ku coba bertanya pada angin seperti itu.
Inginku melihat wajahmu meski hanya
lewat celahan ranting – ranting tua yang menyibakkan kekhawatiran. Biarkan kuteduhkan
sejenak air mataku, menghangatkan rindu dengan hanya melihat wajamu, bahkan
hanya matamu pun diriku bersedia. Karena ku akan membayangkan bahwa kau sednag
menatapku.
Beginilah cara cinta dan rinduku tuk
bertahan, hingga menyesakkan nafasku ketika waktu tak memberi temu. “Apakah
sadar tak memihakmu?, hingga kau seakan tak mengingat segalanya”.
Oh... hati. Berhentilah mengguruiku tuk
selalu ingin bersamanya. Ketahuilah... bahwa waktu tak akan berpihak lagi. Jika
ku masih saja memaksa tuk bertahan, hanya sakit bertumpuk – tumpuk yang ku
dapatkan.
***
Komentar
Posting Komentar